Bukhori P.Mat P2TK
Refleksi
Pembelajaran Filsafat Ilmu yang Terinspirasi Perkuliahan Pertemuan ke-7
(Juma't, 24 Oktober 2014)
Dosen
Perkuliahan Prof. Marsigit
Hukum Kausalitas menurut Kaca Mata Ajaran
Islam
Dalam pembahasan hukum kausalitas dikatakan bahwa
setiap perkara yang baru tercipta dan realitas yang mungkin-ada niscaya
memiliki suatu sebab. Sebab-sempurna dari sesuatu yang akan tercipta itu (baik
yang bersifat benda maupun perbuatan) mesti ada kemudian sesuatu itu akan hadir
dan mengada, karena sesuatu sebelum mencapai derajat ‘kemestian dan kewajiban
eksitensinya’ tidak akan mengada. Yakni akibat tidak akan terpisah dari
sebabnya sendiri. Dengan perhitungan seperti ini, bagaimana ikhtiar dan kehendak
manusia bisa diterapkan dan dianalisa berdasarkan hukum kausalitas ini? Karena
asumsinya adalah (sebagaimana apa yang kita rasakan sendiri secara alami) bahwa
manusia bisa melakukan suatu perbuatan dan juga bisa meninggalkannya. Irâdah,
kehendak, dan rencana manusia adalah juga suatu perkara yang bersifat
mungkin-ada dan mungkin-tercipta, dan hal ini berkonsekuensi logis kepada
kemestian dan kebutuhan akan adanya suatu sebab-sempurna. Jika kita menyatakan
bahwa salah satu dari bagian-bagian (atau syarat-syarat dan kondisi-kondisi)
sebab-sempurnanya adalah tidak lain dari ikhtiar manusia, maka ikhtiar manusia
pun juga merupakan perkara yang mungkin-ada dan membutuhkan suatu sebab yang
dengan keberadaan sebab itu ikhtiar dan kehendak manusia mustahil terpisah darinya
dan senantiasa mengada.
Tolok ukur ikhitiarnya perbuatan-perbuatan bukanlah dari aspek
kemandirian dalam keberadaannya yang bersifat mesti dan wajib, karena tidak ada
satupun di alam yang memiliki kemandirian hakiki selain Tuhan. Tolak ukur determinisme dan ikhtiar perbuatan-perbuatan dalam
pandangan Hikmah Muta’aliyah adalah bahwa perbuatan yang hadir itu berpijak
kepada irâdah dan kehendak, bukan merupakan rangkaian atau
berada dalam cakupan hukum kausalitas.
Hukum kausalitas tidak mengandung kelemahan dan juga tidak
menerima pengecualian, akan tetapi, sekedar mengetahui secara umum dan bersifat
permukaan masalah ini tidak akan cukup untuk memahami secara mendalam
problematika yang sedang dibahas ini.
Para teolog dalam menjawab persoalan ini
menyangka bahwa kaidah tentang ‘ketidakterpisahan sebab dan akibat’ hanya
terkhusus kepada sebab-sebab yang terpaksa dan tidak berkehendak, dan
pelaku-pelaku (sebab-sebab) yang berkehendak seperti manusia – yang merupakan
tema pertanyaan sekarang ini – tetap memiliki ikhtiar dan kebebasannya walaupun
setelah adanya segenap bagian-bagian sebab-sempurna, sementara kaidah akal
tidak akan menerima sejenis pengecualian.
Jika kaidah ‘ketidakterpisahan sebab dan
akibat’ adalah sejenis keterpaksaan, maka keterpaksaan yang ada di seluruh
tempat dan alam adalah benar dan jika sejenis ikhtiar maka mencakup dan
meliputi semua pelaku. Akan tetapi, sejatinya adalah bahwa tolak ukur determinisme
dan keberadaan perbuatan-perbuatan adalah sedemikian sehingga tidak ada
pertentangannya dengan pembahasan kausalitas dalam Hikmah Muta’aliyah dan
kebergantungan hakiki segenap makhluk dan ketidakmandirian mereka terhadap
Tuhan Sang pencipta.
Adalah benar bahwa irâdah manusia merupakan suatu realitas yang
pada akhirnya berujung pada Tuhan sebagai sebab-akhirnya dan manusia terpaksa
dalam keberikhtiarannya. Namun pertanyaan di sini adalah apakah hal ini akan
menyebabkan manusia menjadi terpaksa dalam perbuatan-perbuatannya sendiri? Dan
perbuatan-perbuatan ini tidak bisa dinisbahkan dan dialamatkan kepada manusia?
Jawabannya adalah negatif. Adalah benar bahwa irâdah-takwini (irâdah dalam penciptaan segenap keberadaan)
Tuhan berdasarkan tauhid-perbuatan yang mencakup perkara-perkara yang ada di
alam, namun ini tidak bertentangan dengan irâdah-tasyri’i (irâdah dalam penetapan hukum-hukum agama
seperti wajib, halal, haram, mustahab, makruh, dan mubah) Tuhan.
Irâdah-tasyri’i Tuhan tidak lain terkait dengan perintah-perintah Tuhan kepada
manusia untuk berbuat baik dan memberikan kepada manusia suatu ikhtiar dan
kebebasan untuk memilih kebaikan-kebaikan dan menjauhi keburukan-keburukan.
Oleh karena itu, walaupun seluruh perbuatan itu tidak terpisah dan mustahil
mandiri dari kodrat Ilahi secara takwini dan alami, atau dalam ungkapan lain,
termasuk qadha(ketentuan)
Tuhan, namun keridhaan Tuhan hanyalah meliputi perbuatan-perbuatan yang baik
dan akhlak yang mulia. Manusialah yang berkehendak untuk memilih berbuat
perbuatan-perbuatan yang buruk dan akhlak yang tercela.
Dengan penjelasan lain, tolok ukur kebebasan
dan keberikhtiaran perbuatan-perbuatan adalah tidak terkait dengan kemandirian
dalam keberadaan, karena tidak satupun makhluk di alam ini yang berada secara
mandiri selain Tuhan, segenap makhluk bergantung secara mutlak kepada Tuhan.
Namun, tolok ukur kebebasan dan keberikhtiaran perbuatan-perbuatan dalam
perspektif Mulla Sadra hanyalah bahwa perbuatan yang hadir itu berpijak kepada
suatu irâdah dan kehendak, bukan dalam ranah bahwa
perbuatan itu berada dalam cakupan hukum kausalitas dan bergantung mutlak
kepada Tuhan.
Berdasarkan kaidah ‘prinsipalitas wujud’ dan
‘kesatuan wujud’ dalam filsafat Mulla Sadra, segala makhluk memiliki satu
kesamaan dalam cahaya tunggal Tuhan yang “mengalir” dalam hakikat segala
makhluk. Setiap makhluk-makhluk ini adalah citra dan citra-citra Tuhan termasuk
manusia.
Irâdah,
ikhtiar, dan perbuatan-perbuatan manusia mengikuti keberadaannya. Oleh karena
itu, manusia itu sendiri memiliki suatu tingkatan ikhtiar yang sederajat dengan
tingkatan wujudnya sendiri, dan ini tidak lain adalah perkara yang Mulla Sadra
katakan: irâdah dan ikhtiar manusia adalah rangkaian
menurun dari irâdah Tuhan. Dengan demikian, hukum
kausalitas dari perspektif ini adalah sesuai secara sempurna dengan irâdah dan ikhtiar manusia (karena ikhtiar
itu sendiri memiliki tingkatan-tingkatan yang diberikan kepada setiap makhluk
sesuai dengan derajat keberadaannya); jika kebergantungan manusia semakin
tinggi (yakni manusia secaa eksistensial semakin dekat kepada Tuhan) maka
manisfestasi irâdah dan kehendaknya pun semakin tinggi,
bukan malah semakin terjebak dalam keterpaksaan.
Kesimpulannya, ikhtiar memiliki tingkatan
dan ikhtiar yang tertinggi dimiliki oleh Tuhan, karena bukan hanya Dia tidak
dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal melainkan Dia pun suci dari
kecenderungan-kecenderungan internal yang saling berkontradiksi. Tingkatan
dibawah-Nya dimiliki oleh makhluk-makhluk nonmateri-sempurna, karena
semata-mata hanya dipengaruhi oleh irâdah Tuhan, namun masih mungkin dipengaruhi
oleh kecenderungan-kecenderungan internal yang saling kontradiksi dan
berkuasanya salah satu dari kecenderungan atas kecenderungan-kecenderungan yang
lain. Sementara jiwa-jiwa yang terkait dengan alam materi (seperti jiwa
manusia) memiliki tingkatan ikhtiar yang lebih rendah dan kurang lebih
dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal dan internal. Akan tetapi, jika
manusia memberikan perhatian yang sangat penting kepada pensucian jiwanya dari
kecenderungan-kecenderungan yang buruk, maka akan mencapai derajat ikhtiar yang
tinggi hingga pada tingkatanirâdah Ilahi.
Manusia akan bisa melebihi tingkatan yang
dimiliki oleh makhluk nonmateri-sempurna dan menggapai suatu derajat irâdah dan tingkatan ikhtiar tertinggi yang
bisa dimiliki oleh makhluk Tuhan. Perspektif inilah juga menegaskan bahwa
ikhtiar - dengan makna khususnya - adalah suatu amanat Tuhan dan mencakup
ikhtiar yang paling luas di alam penciptaan[2] yang terkhusus dicapai oleh makhluk
bernama manusia.
Lebih lanjut, berdasarkan perspektif Hikmah
Muta’aliyah (khususnya berpijak pada kaidah gradasi wujud dan irâdah) yang telah
dijelaskan di atas, jawaban lain atas persoalan tersebut bisa dijabarkan melalui
pendekatan irfani terkait dengan hakikat irâdah dan ikhtiar manusia.
Sepanjang manusia belum mengetahui posisi
hakikat keberadaannya di alam penciptaan – yakni maqam khilafah Ilahi – maka
mustahil ia bisa memahami secara hakiki maqam tertinggi ikhtiar kemanusiaannya
sendiri, dan ia senantiasa terjebak dalam keterpaksaan-keterpaksaan dan
kontradiksi-kontradiksi yang muncul dari pengaruh faktor-faktor yang bukan
pengetahuan hakiki, hal-hal yang tidak diinginkan, dan terus berada dalam
kebingungan. Model pandangan ini akan berujung pada kelemahan dan
ketidaksempurnaan manusia, karena manusia senantiasa memandang dirinya sendiri
terpaksa dalam segala sesuatu dan tidak merasa memiliki sedikitpun tanggung
jawab. Hal ini akan sangat berbeda jika manusia memiliki pandangan bahwa
sebab-sempurna irâdah manusia adalah manusia itu sendiri
atau hakikat wujudnya sendiri.
Di sini irâdah manusia menyatu dengan irâdah Tuhan atau irâdahnya adalah irâdah Tuhan itu sendiri sebagaimana manusia
sempurna dinamakan sebagai manifestasi irâdah Tuhan dan manusia yang memiliki irâdah adalah manusia yang menempatkan
dirinya pada maqam manifestasi irâdah Tuhan dan ia memandang tanggung
jawabnya bersumber dari irâdah Tuhan (yakni tanggung jawab utamanya
adalah memperbaiki dirinya sendiri dan orang lain berdasarkan agama yang
diturunkan oleh Tuhan kepada para nabi dan rasul-Nya).
Pada dasarnya, hakikat kedirian kita
tersembunyi di balik perspektif-perspektif yang keliru dan salah tentang
hakikat irâdah manusia, kekeliruan perspektif ini
hanya bisa tersingkap jika manusia mengetahui hakikat jiwa dan dirinya sendiri
secara tepat. Dengan dasar inilah manusia pada akhirnya akan mengetahui bahwa
hakikat dirinya adalah khalifah Tuhan dan seorang yang menerima irâdahagung dari sisi
Tuhan. Berkaitan dengan manusia sebagai penanggung jawab (karena sebagai
khalifah dan penerima irâdah Ilahi maka ia bertanggung jawab untuk
memperbaiki dirinya sendiri dan bertugas mengatur segenap makhluk di alam ini),
maka kesempurnaannya terletak pada sejauh mana ia menerima dan menjalankan
tanggung jawab yang diamanatkan oleh Tuhan kepadanya. Jika tidak demikian, maka
ia terus menerus terpenjara dalam berbagai jenis keterpaksaan-keterpaksaan. Karena
manusia telah tercerahkan, maka ia dapat mengubah segala keterpaksaan itu
menjadi kebebasan dan ikhtiar. Dan pada dasarnya, manusia sendirilah yang
memilih dan berikhtiar untuk meniti jalan keterpaksaan dan memenjarakan dirinya
sendiri dalam perspektif keterpaksaan di alam keberadaan ini. Jadi manusialah
yang berikhtiar untuk tetap berkehendak atau berada dalam keterpaksaan. Atau
manusia terpaksa untuk berikhtiar dan berkehendak.
Manusia akan mencapai pengetahuan hakiki
tentang hakikat keberadaannya melalui pengenalan yang tepat terhadap dirinya
sendiri, yakni ia mendekati maqam imamah dan kekhalifaan (yang merupakan
manifestasi sempurna Tuhan di alam penciptaan ini). Dengan demikian, bukan
hanya ia dapat mengontrol dan mengendalikan jiwanya sendiri, melainkan ia juga
memiliki kemampuan luar biasa (kodrat Ilahi) untuk mengubah dan mengatur selain
dirinya. Di sinilah irâdah manusia menyatu denganirâdah Tuhan dan manusia menggapai derajat
ikhtiar yang paling tinggi. Ini tidak lain adalah kodrat dan kekuatan yang
karenanya manusia diciptakan oleh Tuhan di alam ini, namun sangat disayangkan
bahwa mayoritas manusia tidak mengetahui tujuan penciptaannya itu.
Oleh karena itu, hukum kausalitas di sini
adalah bermakna Ilahi dan hukum tentang kebergantungan mutlak eksistensi
manusia kepada Tuhan yang tidak hanya bernuasa keterpaksaaan melainkan
diartikan sebagai ikhtiar itu sendiri. Mengenai hubungan antara sebab dan
akibat yakni hubungan antara Tuhan dan khalifah Tuhan adalah bersifat murni
ikhtiar dengan segenap keberadaan yang dalam tradisi irfan dinamakan sebagai
‘cinta’. [iQuest]