Sabtu, 25 Oktober 2014

Hukum Kausalitas menurut Kaca Mata Ajaran Islam

Bukhori P.Mat P2TK

Refleksi Pembelajaran Filsafat Ilmu yang Terinspirasi Perkuliahan Pertemuan ke-7 (Juma't, 24 Oktober 2014)
Dosen Perkuliahan Prof. Marsigit

Hukum Kausalitas menurut Kaca Mata Ajaran Islam

Dalam pembahasan hukum kausalitas dikatakan bahwa setiap perkara yang baru tercipta dan realitas yang mungkin-ada niscaya memiliki suatu sebab. Sebab-sempurna dari sesuatu yang akan tercipta itu (baik yang bersifat benda maupun perbuatan) mesti ada kemudian sesuatu itu akan hadir dan mengada, karena sesuatu sebelum mencapai derajat ‘kemestian dan kewajiban eksitensinya’ tidak akan mengada. Yakni akibat tidak akan terpisah dari sebabnya sendiri. Dengan perhitungan seperti ini, bagaimana ikhtiar dan kehendak manusia bisa diterapkan dan dianalisa berdasarkan hukum kausalitas ini? Karena asumsinya adalah (sebagaimana apa yang kita rasakan sendiri secara alami) bahwa manusia bisa melakukan suatu perbuatan dan juga bisa meninggalkannya. Irâdah, kehendak, dan rencana manusia adalah juga suatu perkara yang bersifat mungkin-ada dan mungkin-tercipta, dan hal ini berkonsekuensi logis kepada kemestian dan kebutuhan akan adanya suatu sebab-sempurna. Jika kita menyatakan bahwa salah satu dari bagian-bagian (atau syarat-syarat dan kondisi-kondisi) sebab-sempurnanya adalah tidak lain dari ikhtiar manusia, maka ikhtiar manusia pun juga merupakan perkara yang mungkin-ada dan membutuhkan suatu sebab yang dengan keberadaan sebab itu ikhtiar dan kehendak manusia mustahil terpisah darinya dan senantiasa mengada.
Tolok ukur ikhitiarnya perbuatan-perbuatan bukanlah dari aspek kemandirian dalam keberadaannya yang bersifat mesti dan wajib, karena tidak ada satupun di alam yang memiliki kemandirian hakiki selain Tuhan. Tolak ukur determinisme dan ikhtiar perbuatan-perbuatan dalam pandangan Hikmah Muta’aliyah adalah bahwa perbuatan yang hadir itu berpijak kepada irâdah dan kehendak, bukan merupakan rangkaian atau berada dalam cakupan hukum kausalitas. 

Hukum kausalitas tidak mengandung kelemahan dan juga tidak menerima pengecualian, akan tetapi, sekedar mengetahui secara umum dan bersifat permukaan masalah ini tidak akan cukup untuk memahami secara mendalam problematika yang sedang dibahas ini.
Para teolog dalam menjawab persoalan ini menyangka bahwa kaidah tentang ‘ketidakterpisahan sebab dan akibat’ hanya terkhusus kepada sebab-sebab yang terpaksa dan tidak berkehendak, dan pelaku-pelaku (sebab-sebab) yang berkehendak seperti manusia – yang merupakan tema pertanyaan sekarang ini – tetap memiliki ikhtiar dan kebebasannya walaupun setelah adanya segenap bagian-bagian sebab-sempurna, sementara kaidah akal tidak akan menerima sejenis pengecualian.
Jika kaidah ‘ketidakterpisahan sebab dan akibat’ adalah sejenis keterpaksaan, maka keterpaksaan yang ada di seluruh tempat dan alam adalah benar dan jika sejenis ikhtiar maka mencakup dan meliputi semua pelaku. Akan tetapi, sejatinya adalah bahwa tolak ukur determinisme dan keberadaan perbuatan-perbuatan adalah sedemikian sehingga tidak ada pertentangannya dengan pembahasan kausalitas dalam Hikmah Muta’aliyah dan kebergantungan hakiki segenap makhluk dan ketidakmandirian mereka terhadap Tuhan Sang pencipta.
Adalah benar bahwa irâdah manusia merupakan suatu realitas yang pada akhirnya berujung pada Tuhan sebagai sebab-akhirnya dan manusia terpaksa dalam keberikhtiarannya. Namun pertanyaan di sini adalah apakah hal ini akan menyebabkan manusia menjadi terpaksa dalam perbuatan-perbuatannya sendiri? Dan perbuatan-perbuatan ini tidak bisa dinisbahkan dan dialamatkan kepada manusia? Jawabannya adalah negatif. Adalah benar bahwa irâdah-takwini (irâdah dalam penciptaan segenap keberadaan) Tuhan berdasarkan tauhid-perbuatan yang mencakup perkara-perkara yang ada di alam, namun ini tidak bertentangan dengan irâdah-tasyri’i (irâdah dalam penetapan hukum-hukum agama seperti wajib, halal, haram, mustahab, makruh, dan mubah) Tuhan. Irâdah-tasyri’i Tuhan tidak lain terkait dengan perintah-perintah Tuhan kepada manusia untuk berbuat baik dan memberikan kepada manusia suatu ikhtiar dan kebebasan untuk memilih kebaikan-kebaikan dan menjauhi keburukan-keburukan. Oleh karena itu, walaupun seluruh perbuatan itu tidak terpisah dan mustahil mandiri dari kodrat Ilahi secara takwini dan alami, atau dalam ungkapan lain, termasuk qadha(ketentuan) Tuhan, namun keridhaan Tuhan hanyalah meliputi perbuatan-perbuatan yang baik dan akhlak yang mulia. Manusialah yang berkehendak untuk memilih berbuat perbuatan-perbuatan yang buruk dan akhlak yang tercela.
Dengan penjelasan lain, tolok ukur kebebasan dan keberikhtiaran perbuatan-perbuatan adalah tidak terkait dengan kemandirian dalam keberadaan, karena tidak satupun makhluk di alam ini yang berada secara mandiri selain Tuhan, segenap makhluk bergantung secara mutlak kepada Tuhan. Namun, tolok ukur kebebasan dan keberikhtiaran perbuatan-perbuatan dalam perspektif Mulla Sadra hanyalah bahwa perbuatan yang hadir itu berpijak kepada suatu irâdah dan kehendak, bukan dalam ranah bahwa perbuatan itu berada dalam cakupan hukum kausalitas dan bergantung mutlak kepada Tuhan.
Berdasarkan kaidah ‘prinsipalitas wujud’ dan ‘kesatuan wujud’ dalam filsafat Mulla Sadra, segala makhluk memiliki satu kesamaan dalam cahaya tunggal Tuhan yang “mengalir” dalam hakikat segala makhluk. Setiap makhluk-makhluk ini adalah citra dan citra-citra Tuhan termasuk manusia.
Irâdah, ikhtiar, dan perbuatan-perbuatan manusia mengikuti keberadaannya. Oleh karena itu, manusia itu sendiri memiliki suatu tingkatan ikhtiar yang sederajat dengan tingkatan wujudnya sendiri, dan ini tidak lain adalah perkara yang Mulla Sadra katakan: irâdah dan ikhtiar manusia adalah rangkaian menurun dari irâdah Tuhan. Dengan demikian, hukum kausalitas dari perspektif ini adalah sesuai secara sempurna dengan irâdah dan ikhtiar manusia (karena ikhtiar itu sendiri memiliki tingkatan-tingkatan yang diberikan kepada setiap makhluk sesuai dengan derajat keberadaannya); jika kebergantungan manusia semakin tinggi (yakni manusia secaa eksistensial semakin dekat kepada Tuhan) maka manisfestasi irâdah dan kehendaknya pun semakin tinggi, bukan malah semakin terjebak dalam keterpaksaan.
Kesimpulannya, ikhtiar memiliki tingkatan dan ikhtiar yang tertinggi dimiliki oleh Tuhan, karena bukan hanya Dia tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal melainkan Dia pun suci dari kecenderungan-kecenderungan internal yang saling berkontradiksi. Tingkatan dibawah-Nya dimiliki oleh makhluk-makhluk nonmateri-sempurna, karena semata-mata hanya dipengaruhi oleh irâdah Tuhan, namun masih mungkin dipengaruhi oleh kecenderungan-kecenderungan internal yang saling kontradiksi dan berkuasanya salah satu dari kecenderungan atas kecenderungan-kecenderungan yang lain. Sementara jiwa-jiwa yang terkait dengan alam materi (seperti jiwa manusia) memiliki tingkatan ikhtiar yang lebih rendah dan kurang lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal dan internal. Akan tetapi, jika manusia memberikan perhatian yang sangat penting kepada pensucian jiwanya dari kecenderungan-kecenderungan yang buruk, maka akan mencapai derajat ikhtiar yang tinggi hingga pada tingkatanirâdah Ilahi.
Manusia akan bisa melebihi tingkatan yang dimiliki oleh makhluk nonmateri-sempurna dan menggapai suatu derajat irâdah dan tingkatan ikhtiar tertinggi yang bisa dimiliki oleh makhluk Tuhan. Perspektif inilah juga menegaskan bahwa ikhtiar - dengan makna khususnya - adalah suatu amanat Tuhan dan mencakup ikhtiar yang paling luas di alam penciptaan[2] yang terkhusus dicapai oleh makhluk bernama manusia.
Lebih lanjut, berdasarkan perspektif Hikmah Muta’aliyah (khususnya berpijak pada kaidah gradasi wujud dan irâdah) yang telah dijelaskan di atas, jawaban lain atas persoalan tersebut bisa dijabarkan melalui pendekatan irfani terkait dengan hakikat irâdah dan ikhtiar manusia.
Sepanjang manusia belum mengetahui posisi hakikat keberadaannya di alam penciptaan – yakni maqam khilafah Ilahi – maka mustahil ia bisa memahami secara hakiki maqam tertinggi ikhtiar kemanusiaannya sendiri, dan ia senantiasa terjebak dalam keterpaksaan-keterpaksaan dan kontradiksi-kontradiksi yang muncul dari pengaruh faktor-faktor yang bukan pengetahuan hakiki, hal-hal yang tidak diinginkan, dan terus berada dalam kebingungan. Model pandangan ini akan berujung pada kelemahan dan ketidaksempurnaan manusia, karena manusia senantiasa memandang dirinya sendiri terpaksa dalam segala sesuatu dan tidak merasa memiliki sedikitpun tanggung jawab. Hal ini akan sangat berbeda jika manusia memiliki pandangan bahwa sebab-sempurna irâdah manusia adalah manusia itu sendiri atau hakikat wujudnya sendiri.
Di sini irâdah manusia menyatu dengan irâdah Tuhan atau irâdahnya adalah irâdah Tuhan itu sendiri sebagaimana manusia sempurna dinamakan sebagai manifestasi irâdah Tuhan dan manusia yang memiliki irâdah adalah manusia yang menempatkan dirinya pada maqam manifestasi irâdah Tuhan dan ia memandang tanggung jawabnya bersumber dari irâdah Tuhan (yakni tanggung jawab utamanya adalah memperbaiki dirinya sendiri dan orang lain berdasarkan agama yang diturunkan oleh Tuhan kepada para nabi dan rasul-Nya).
Pada dasarnya, hakikat kedirian kita tersembunyi di balik perspektif-perspektif yang keliru dan salah tentang hakikat irâdah manusia, kekeliruan perspektif ini hanya bisa tersingkap jika manusia mengetahui hakikat jiwa dan dirinya sendiri secara tepat. Dengan dasar inilah manusia pada akhirnya akan mengetahui bahwa hakikat dirinya adalah khalifah Tuhan dan seorang yang menerima irâdahagung dari sisi Tuhan. Berkaitan dengan manusia sebagai penanggung jawab (karena sebagai khalifah dan penerima irâdah Ilahi maka ia bertanggung jawab untuk memperbaiki dirinya sendiri dan bertugas mengatur segenap makhluk di alam ini), maka kesempurnaannya terletak pada sejauh mana ia menerima dan menjalankan tanggung jawab yang diamanatkan oleh Tuhan kepadanya. Jika tidak demikian, maka ia terus menerus terpenjara dalam berbagai jenis keterpaksaan-keterpaksaan. Karena manusia telah tercerahkan, maka ia dapat mengubah segala keterpaksaan itu menjadi kebebasan dan ikhtiar. Dan pada dasarnya, manusia sendirilah yang memilih dan berikhtiar untuk meniti jalan keterpaksaan dan memenjarakan dirinya sendiri dalam perspektif keterpaksaan di alam keberadaan ini. Jadi manusialah yang berikhtiar untuk tetap berkehendak atau berada dalam keterpaksaan. Atau manusia terpaksa untuk berikhtiar dan berkehendak.
Manusia akan mencapai pengetahuan hakiki tentang hakikat keberadaannya melalui pengenalan yang tepat terhadap dirinya sendiri, yakni ia mendekati maqam imamah dan kekhalifaan (yang merupakan manifestasi sempurna Tuhan di alam penciptaan ini). Dengan demikian, bukan hanya ia dapat mengontrol dan mengendalikan jiwanya sendiri, melainkan ia juga memiliki kemampuan luar biasa (kodrat Ilahi) untuk mengubah dan mengatur selain dirinya. Di sinilah irâdah manusia menyatu denganirâdah Tuhan dan manusia menggapai derajat ikhtiar yang paling tinggi. Ini tidak lain adalah kodrat dan kekuatan yang karenanya manusia diciptakan oleh Tuhan di alam ini, namun sangat disayangkan bahwa mayoritas manusia tidak mengetahui tujuan penciptaannya itu.
Oleh karena itu, hukum kausalitas di sini adalah bermakna Ilahi dan hukum tentang kebergantungan mutlak eksistensi manusia kepada Tuhan yang tidak hanya bernuasa keterpaksaaan melainkan diartikan sebagai ikhtiar itu sendiri. Mengenai hubungan antara sebab dan akibat yakni hubungan antara Tuhan dan khalifah Tuhan adalah bersifat murni ikhtiar dengan segenap keberadaan yang dalam tradisi irfan dinamakan sebagai ‘cinta’. [iQuest]     


Kamis, 23 Oktober 2014

Idealisme & Transendensi Cinta

Bukhori P.Mat P2TK

Refleksi Pembelajaran Filsafat Ilmu Pertemuan ke-6 (Juma't, 17 Oktober 2014)
Dosen Perkuliahan Prof. Marsigit

Idealisme dan Transendensi Cinta
Idealime adalah sebuah istilah yang digunakan pertama kali dalam dunia filsafat oleh Leibniz pada awal abad 18 ia menerapkan istilah ini pada pemikiran Plato, seraya memperlawankan dengan materialisme Epikuros. Istilah Idealisme adalah aliran filsafat yang memandang yang mental dan ideasional sebagai kunci ke hakikat realitas. Dari abad 17 sampai permulaan abad 20 istilah ini banyak dipakai dalam pengklarifikasian filsafat.
Idealisme berasal dari kata ide yang artinya adalah dunia di dalam jiwa (Plato), jadi pandangan ini lebih menekankan hal-hal bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang materi dan fisik. Realitas sendiri dijelaskan dengan gejala-gejala psikis, roh, budi, diri, pikiran mutlak, bukan berkenaan dengan materi.
·         Fichte memakai nama idealisme subyektif, jadi pandangan-pandangan berasal dari subyek-subyek tertentu, dia menyandarkan keunggulan moral untuk sebuah etika manusia yang ideal. Dia diduga sebagai pendiri idealisme di Jerman.
·         Hegel mengangkat idealisme subyektif dan obyektif untuk menggambarkan tesis dan antitesis secara berturut-turut. Hegel sendiri mengemukakan pandangannya sendiri yang disebut idealisme absolut sebagai sintesis yang lebih tinggi dibanding unsur yang membentuknya (tesis dan antitesis).
·         Kant menyebut pandangannya dengan istilah idealisme transendental atau idealisme kritis Dalam alternatif ini isi pengalaman langsung tidak dianggap sebagai benda dalam dirinya sendiri, dan ruang dan waktu merupakan forma intuisi kita sendiri Schelling telah menggunakan istilah idealisme transendental sebagai pengganti idealisme subyektif.
Tokoh-tokoh lain cukup banyak ; BarkeleyJonathan EdwardsHowisonEdmund HusserlMesser dan sebagainya.
Dalam dunia sastra, terdapat aliran idealisme juga, misalnya sebuah cerita, di dalamnya terdapat pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Berdasarkan pesan-pesan itu, seseorang dapat menganalisis tentang pandangan penulis. Idealisme yang dikemukakan terkait dengan tema cerita, misalnya tema yang berhubungan dengan cinta, perjuangan, dan pembangunan masa depan. Ada dua bentuk idealisme: yaitu idealisme aktif, yaitu idealisme yang melahirkan insipirasi-inspirasi baru yang bisa dilakukan dalam realitas, sedangkan idealisme pasif adalah idealisme yang hanya semu, tidak pernah bisa diwujudkan, bersifat utopis saja.
Transformasi Cinta“For all things are united, themselves with parts of themselves – the beaming sun and earth and sky and sea – whatever things are friendly but have separated in mortal things. And so, in the same way, whatever things are the more adapted for mixing, these are loved by each other and made alike by Aphrodite” Empedocles.
Cinta mudah diterjemaahkan kedalam puisi, lagu dan tarian, karena ranah cinta dan irasionalitas jauh lebih mudah diekspresikan, tetapi bisakah kita mendiskursuskan cinta? Ganjil memang, ditengah asumsi bahwa cinta itu tidak logis, sementara ada hasrat manusia untuk memahami secara rasional apa cinta itu. Hasrat ini telah menjadi obsesi berbagai filosof, sebut saja Plato, Empedokles, Kierkegaard, Fromm, Stendhal, hingga filosof India Vatsyayana. Mengapa penting bagi manusia untuk bisa memahami cinta secara diskursif? Bukankah cinta sama indah dan memikatnya di dalam irasionalitas puisi, lukisan, serta simfoni? Kecenderungan manusia untuk melabelkan, mendefinisikan lalu menguraikan peristiwa adalah dorongan utama untuk menaklukan secara komprehensif apa cinta itu. Cinta sarat anomali, tetapi bagi para filosof teka-teki itulah yang mempesona tentang cinta.
Amor PlatonicusDalam karyanya Symposium, Plato meramu suatu konsep ideal tentang cinta. Melalui pembicaraan 7 tokoh, Phaedrus, Pausanias, Eryximachus, Aristophanes, Agathon, Socrates, dan Alcibiades, mereka masing-masing saling memaparkan pendapat mereka tentang cinta. Sambil menikmati anggur Phaedrus mengawali pidatonya memuja Dewa Eros, “Love is a great god, wonderful in many ways to gods and men, and most marvelous of all is the way he came into being.”[2] Phaedrus menjelaskan bagaimana pada awalnya adalah kekacauan (chaos) lalu kemudian cinta terlahir lalu terbentuklah keteraturan. Filsafat cinta dari Plato memang sarat dengan dihubungkannya cinta dan bagaimana alam semesta terbentuk. Serupa dengan kutipan dari Empedocles, yang menyatakan bahwa alam tercipta karena elemen primordial cinta melekatkan segala-galanya. Pandangan yang romantis memang, tetapi dibalik romantisisme itu, secara mendasar apa yang ingin disampaikan Plato dan Empedocles adalah ada suatu energi yang memungkin segala interaksi dan relasi yang sempurna di dalam alam semesta ini. Bagaimana alam bekerja dalam dinamika serta mekanisme yang tidak saja harmonis tetapi juga indah, bagi para filosof ini berkaitan dengan keberadaan elemen utama yakni cinta.
Plato melalui pidato Pausanias lebih lanjut lagi memaparkan bagaimana cinta dapat dimengerti melalui dua perspektif, Common Aphrodite dan Heavenly Aphrodite[3]. Common Aphrodite adalah cinta yang erotis dan vulgar, pemuasan tubuh serta kepemilikan menjadi tujuan utamanya. Cinta semacam ini menurut Plato adalah cinta yang hedonistik, yang mencari momentum kepuasan. Sementara itu Heavenly Aphrodite mengejar wujud cinta yang berbeda, tidak ada penaklukan disini. Cinta tertinggi dipandang sebagai bentuk persahabatan dua hati, yang tidak ada dorongan nafsu ragawi. Dimana dua orang ini saling menghormati, menikmati pertemanan secara intelektual. Bagi Plato cinta semacam inilah cinta yang terhormat, yang tidak mencari kepuasaan sesaat, tetapi mengejar kebijaksanaan di dalam cinta. Beralih dari Pausanias, pidato Eryximachus menjelaskan pula dua tipe dari cinta, dimana tubuh manusia berada di persimpangan dua kecenderungan ini, “The point is that our very bodies manifest the two species of love.”[4] Tubuh menurut Plato merespon secara berbeda peristiwa cinta, ada yang merespon secara buruk sehingga cinta berubah menjadi racun, merusak tubuh dan menyebabkan kematian, tetapi adapula yang bentuk cinta yang bekerja sebagai obat dan menyegarkan tubuh serta pemikiran. Analogi yang diberikan dalam pidato Eryximachus penting dalam menjelaskan teori cinta Platonian, bahwa setiap manusia memiliki reaksi serta ekspektasi yang berbeda-beda tentang cinta. Tetapi apapun reaksi itu, konsep utamanya adalah cinta merupakan kekuatan yang mampu merubah sesuatu, mampu mentransformasi sesuatu.
Dalam pidato Aristophanes, Plato memperkenalkan teorinya yang terkenal yakni mitos ‘belahan jiwa’. Dikisahkan oleh Aristophanes bahwa pada awalnya manusia diciptakan dewa berpasang-pasangan, saling menempel satu dengan yang lainnya. Meski manusia lemah secara tenaga, tetapi mereka memiliki ambisi yang kuat untuk melawan dewa. Khawatir dengan pemberontakan manusia, Zeus menyambar manusia dengan petir-petirnya, menghukum mereka dengan cara memisahkan mereka dengan pasangannya. “In that condition they would die from hunger and general idleness, because they would not do anything apart from each other. Whenever one of the halves died and one was left, the one that was left still sought another and wove itself together with that, —either way they kept on dying.”[5] Inti dari mitos ini, bagi Plato kehidupan manusia dapat diandaikan seperti manusia yang kehilangan pasangannya. Sepanjang hidupnya ia merasakan kehampaan yang sulit untuk diisi. Pencarian terhadap cinta sejati adalah pencarian terhadap belahan jiwa tersebut, “Love is born into every human being; it calls back the halves of our original nature together; it tries to make one out of two and heal the wound of human nature.”[6] Cinta bagi Plato adalah substansi yang dapat memenuhi kekosongan itu, ia mempersatukan realitas serta relasi yang nampaknya sedemikian kacau dan acak, cinta juga memulihkan jiwa manusia.
Pada pidato Agathon, Plato menjelaskan bahwa kita bisa melihat gejala-gejala cinta. Gejala-gejala itu adalah bukti riil bahwa cinta itu adalah kekuasaan. Seseorang yang menyebabkan jatuh cinta sesungguhnya ia memiliki kekuasaan. Ia yang memberi cinta yang tulus juga memiliki kekuataan dan kekuasaan. Selain itu dalam pidato Agathon, Plato menegaskan lagi bahwa cinta itu tidak saja indah dan menyenangkan tetapi ia juga menginginkan kebaikan dan keadilan. Bagi Agathon cinta adalah serum yang dibutuhkan dalam dunia yang penuh dengan kekerasan. Cinta melembutkan jiwa manusia, ia membuat manusia menjadi beradab, “Love moves us to mildness, removes from us wildness. Giver of kindess never of meaness.”[7] Paparan dari Agathon disetujui oleh pembicara selanjutnya, yakni Socrates, ia menjelaskan bahwa ketika seseorang sedang mencintai sesungguhnya ia menginginkan kebaikan di dalam cinta tersebut. Itu mengapa menurut tokoh Socrates, cinta dan kebaikan sepatutnya tidak terpisahkan, secara ekstremnya, inilah cinta yang sesungguhnya, bukan jenis cinta yang lainnya.
Perdebatan panjang yang diuraikan oleh Plato menunjukan properti dari cinta, begitu juga motif dari kegiatan mencintai tersebut. Konsep cinta dari Plato kongruen dengan dualismenya, dari segi epistemologis ia selalu mengatakan bahwa ada kebenaran doxatic dan kebenaran epistemic, begitu juga dalam metafisikanya, bahwa realitas sesungguhnya adalah dunia idea bukan dunia fisikal dalam keseharian. Berkaitan dengan filsafat cinta Plato, ia juga melihat bahwa ada hirarki ketika memahami cinta. Cinta yang destruktif, ingin menguasai, menyiksa bagi Plato hanyalah bayangan dari cinta, bukan cinta yang sejati, cinta sejati baginya adalah cinta yang baik dan adil. Mengapa manusia mencintai? Menurut Socrates karena cinta adalah ‘nature’ dari surga, ia selalu ingin melampaui mortalitas ketubuhannya, ia ingin mencapai kesempurnaan itu.

Jumat, 17 Oktober 2014

Filsafat & Perkembangannya

Bukhori P.Mat P2TK

Refleksi Pembelajaran Filsafat Ilmu Pertemuan ke-5 (Juma't, 10 Oktober 2014)
Dosen Perkuliahan Prof. Marsigit

Filsafat & Perkembangannya
A.  Masa Yunani
Yunani terletak di Asia kecil, kebiasaan hidup mereka sebagai nelayan mewarnai kepercayaan yang dianutnya yaitu kekuatan hubungan manusia dengan Sang Maha Pencipta yang bersifat formalitas. Artinya, kedudukan Tuhan terpisah dengan kehidupan manusia. Kepercayaan yang bersifat formalitas ini ditentang oleh Homerus dengan dua buah karyanya yang terkenal yaitu: Ilias dan Odyseus yang memuat nilai-nilai yang tertinggi dan bersifat edukatif. Ahli piker yang pertama kali muncul adalah Thales (+625-545 SM) yang berhasil mengembangkan geometrid an matematika; Liokippos dan Democritos mengembangkan teori materi; Hipocrates mengembangkan ilmu kedokteran; Euclid mengembangkan geometri deduktif; Socrates mengembangkan teori tentang moral; Plato mengembangkan teori tentang ide; Aristoteles mengembangkan teori yang menyangkut dunia dan benda dan berhasil mengumpulkan data 500 jenis binatang (ilmu Biologi). Suatu keberhasilan yang luar biasa dari Aristoteles adalah menemukan system pengaturan pemikiran (logika formal) yang sampai sekarang masih dikenal.

B.   Masa Abad Pertengahan
Masa ini diawali dengan lahirnya filsafat Eropa. Pemikiran filsafat abad pertengahan didominasi oleh agama. Maka didirikanlah sekolah-sekolah yang member pelajaran gramatika, dialetika, geometri, aritmatika, astronomi dan music. Pada abad ke 6 M dikalangan para ahli piker islam (periode filsafat Skolastik islam) muncul: Al-Kindi, Al-Farabi, Al-Gazali, Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd. Periode ini berlangsung tahun 850-1200. Mereka mengadakan perpaduan dan sinkrestisme antara agama dan filsafat. Kemudian pikiran-pikiran ini masuk Eropa yang merupakan sumbangan islam yang paling besar. Peralihan dari abad pertengahan keabad modern dalam sejarah filsafat disebut sebagai masa peralihan (masa transisi) yaitu munculnya Renaissance dan Humanisme yang berlangsung pada abad 15-16.

C.   Masa Abad Modern
Pada masa modern ini berhasila menempatkan manusia pada tempat yang sentral dalam padanan kehidupan sehingga corak pemikirannya antroposentris, yaitu pemikiran filsafatnya mendasarkan pada akal fikir dan pengalaman Rene Descartes (1596-1650) sebagai bapak filsafat modern ini berhasil memadukan antara metode ilmu alam dengan ilmu pasti kedalam pemikiran filsafat. Pada abad ke-18, perkembangan pemikiran filsafat mengarah pada filsafat ilmu pengetahuan. Tokoh-tokohnya antara lain George Berkelay (1685-1753), David Hume (1711-1776), Roussean (1722-1778).
Di Jerman muncul Christian Wolf (1679-1754) dan Immanuel Kant (1754-1804), yang mengupayakan agar filsafat menjadi ilmu pengetahuan yang pasti dan berguna. Abad ke-19 perkembangan pemkiran filsafat terpecah belah. Ada filsafat Amerika, filsafat Prancis, filsafat Inggris, filsafat Jerman. Tokoh-tokohnya adalah: Hegel (1770-1831), Karl Marx (1818-1883), August Comte (1789-1857), JS. Mill (1806-1873), Jhon Dewey (1858-1952).


D.       Masa Abad Dewasa Ini (Filsafat Abad Ke-20)
Filsafat dewasa ini atau filsafat abad ke-20 juga disebut Filsafat Kontemporer. Ciri khas pemikiran filsafat ini adalah desentralisasi manusia. Dalam bidang bahasa terdapat pokok-pokok masalah, yaitu arti kata-kata dan arti pernyataan-pernyataan. Maka, timbulah filsafat analitik, yang didalamnya membahas tentang cara mengatur pemakaian kata-kata atau istilah-istilah karena bahasa sebagai objek terpenting dalam pemikiran filsafat, para ahli pikir menyebutnya sebagai Neo-Kantianisme, Neo-Hegelianisme, Kritika Ilmu, Historisme, Irasionalisme, Neo-Vitalisme, Spiritualisme, Neo-Positivisme. Pada awal belahan akhir abad ke-20 muncul aliran-aliran kefilsafatan yang lebih dapat memberikan corak pemikiran dewasa ini, seperti filsafat Analitik, filsafat Eksitensi, Struktualisme dan Kritika Sosial.


Jumat, 10 Oktober 2014

Menembus Ruang & Waktu

Bukhori P.Mat P2TK

Refleksi Pembelajaran Filsafat Ilmu Pertemuan ke-4 (Juma't, 3 Oktober 2014)
Dosen Perkuliahan Prof. Marsigit


Kesadaran Menembus Ruang dan Waktu


Ketika mempelajari filsafat tak terlepas dari mempelajari eksistensi dimensi ruang dan waktu yang berbeda-beda yang meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Salah satu contoh dimensi ruang dapat digambarkan dengan pola tersusun ke atas di mulai dengan aspek material, formal, normatif dan aspek spiritual. Tiadalah yang ada dan yang mungkin ada itu kecuali semuanya menembus ruang dan waktu. Bukan hanya yang hidup, tetapi sebuah batu pun menembus ruang dan waktu. Contohnya candi Borobudur dahulu latar belakangnya rusa yang sedang memakan rumput di tengah hutan, tetapi sekarang latar belakangnya adalah hotel berbintang lima, itu pertanda bahwa candi Borobudur yang dulu dengan yang sekarang berbeda, sehingga Candi Brobudur pun bisa dikatakan menembus ruang dan waktu. Dari hal tersebut batu pun tak menyadarinya, tak memikirkannya, dan tidak sedang berdo’a karena sebuah batu saja menembus ruang dan waktu, apalagi manusia yang dianugerahi Tuhan yang Maha Esa yaitu berupa fatal dan vital atau ikhtiar dan takdirnya lengkap dengan berbagai akibatnya seperti kemampuan insting, intuisi, kemampuan berpikir formal, berpikir numerik, bahkan berpikir canggih.

Maka dari itu definisi hidup itu dalam filsafat itu bisa bermacam-macam, ada yang di tandai dengan kemampuan bergerak, bernafas, bereproduksi,dll. Di samping itu, bisa juga hidup itu salah satu definisinya yaitu menembus ruang dan waktu. Maka bagi orang yang berhasil berarti keterampilan keberhasilan dia dalam menempuh ruang dan waktu, sehingga dibutuhkan kemampuan memanipulasi metodologi menembus ruang dan waktu. Contohnya seorang mahasiswa yang datang ke jogja dari luar pulau jawa untuk belajar itu pun bisa dikatakan menembus ruang dan waktu. Selain itu, kemampuan itu tidak bersifat dasar seperti berjalannya keong, binatang atau yang lainnya tetapi dengan mempergunakan kemampuan yang lebih canggih lagi contohnya seperti dengan mempgunakan pesawat. Kata-kata yang diucapkan adalah sebuah ruang, yaitu ruang kesadaran. Jadi tak terasa kitapun tak terlepas dari saling bertukar ruang masing-masing.

Setiap yang ada punya strukturnya serta menembus ruang dan waktu, termasuk semua panca indra dan pikiran kita. Tetapi keberadaan akan ruang dan waktu terkadang kita semua tak pernah menyadarinya. Apakah kita bisa memikirkan semua yang ada dan yang mungkin ada?? Secara ontologi mungkin bisa, tetapi secara aksiologi, etis dan estetika maka tidak bisa karena dibatasi ruang dan waktu. Di sisi lain dimensi ruang dan waktu memberikan kita kesempatan tetapi di sisi lain bersifat membatasi. Ketika kita bisa mengetahui yang ada dan yang mungkin ada, mungkin bisa menyebabkan kita tidak bisa hidup, keterbatasan kita membuat kita bisa saling memahami dan mengerti tentang hidup. Memahami ruang dan waktu itu berarti kita memahami tata cara atau adabnya. Dalam situasi/ruang yang berbeda setiap benda memiliki fungsi yang berbeda contohnya batu yang ada di toko bangunan itu memiliki fungsi material, batu yang digunakan untuk pembatas jalan itu memiliki fungsi formal, batu kerikil yang digunakan oleh orang yunani untuk menghitung jarak tempuh kereta (batu kalkuli/kalkulus) berfungsi normatif, tetapi ketika batu yang sedang di gunakan untuk beribadah (lempar jumroh) maka batu itu memiliki fungsi spiritual dan lain-lain.


Orang yang tidak bisa menempatkan diri dalam ruang dan waktu yang tepat, maka orang tersebut bisa dikatakan bodoh secara filsafat. Untuk menjawab berbagai pertanyaan dengan benar, seperti formalnya dari normatif normatifnya spiritual, normatifnya spiritual, kita perlu memahami bagian dari filsafat dimana filsafat itu ada tiga pilar, ontologi hakikatnya, epistemologi adalah sumbernya, kemudian aksiologi adalah etik dan estetikanya. Menembus ruang dan waktu itu terkadang tidaklah mudah, dan untuk memahami hakikat yang ada dan yang mungkin itu adalah perkara yang sangat sulit bahkan Socrates saja sudah menyerah, ia mengatakan “aku tidak mengetahui apa-apa tentang hakikat yang ada dan yang mungkin ada”, apalagi kalau di Tanya tentang hakikat Tuhan, yang pasti itu lebih sulit lagi, wallohual’alam. Dari filsafat kita bisa belajar tentang kerendahan hati, dan kedahsyatan ilmu Alloh swt serta belajar filsafat memberikan kesadaran kepada kita bahwa tidaklah kita mengetahui tentang hakikat yang ada dan yang mungkin ada melainkan sangat sedikit sekali.

Kamis, 02 Oktober 2014

Memahami Beberapa Istilah Filsafat

Bukhori P.Mat P2TK

Refleksi Pembelajaran Filsafat Ilmu Pertemuan ke-3 (Juma't, 26 September 2014)
Dosen Perkuliahan Prof. Marsigit


Mempelajari Beberapa Istilah Filsafat

Memahami istilah-istilah filsafat itu perlu pemahaman yang kritis dan mendalam. Jika kita membaca sebuah novel biasanya sekali baca saja pasti sudah bisa memahami isinya, tetapi untuk memahami bacaan tentang filsafat itu perlu mengulang beberapa kali hingga akhirnya bisa dipahami. Hal tersebut terjadi karena bahasa filsafat itu boleh dikatakan salah satu bentuk sastra tingkat tinggi yang di dalamnya sarat makna kias, contohnya dalam bacaan elegi-elegi yang ditulis dalam blognya Prof. Marsigit.


Contoh istilah-istilah filsafat tersebut, diantaranya: Saling asing (beda ruang dan waktu), berjanji (fondalisme), jatuh (aksiden), bersembunyi (metafisik), aku (potensi/energi), air (adil), bumi (sabar), langit (ilmu), gunung (filsuf), sinar (kebenaran), kendaraan (pekerjaan), rumah (dunia), pohon (hidup), jauh (teleologi), cepat (revolusi), lambat (evolusi), bertengkar (sintesis), di luar (trensenden), yang murni (Puritanism), yang pasti (absolutism), dan lain-lain.

Semua yang ada dan yang mungkin ada punya filsafatnya masing-masing, Semua masalah bisa diselesaikan(tesis), mungkin yang menyelsesaikan bisa saja berada dalam dimensi yang lain. Contohnya Tuhan bisa menyelesaikan masalah. Masalahku meliputi yang ada dan yang mungkn ada, itulah kontradiksi. Kontradiksi itu identitas. Identitas itu adalah aku sama dengan aku, dan itu ada dalam pengandaian atau akhirat. Secara fisafat Tuhan itu potensi absolut, tiada bandingannya. Sedangkan setan potensi negatif. Setiap manusia mempunya potensi yaitu potensi positif dan potensi negatif, Potensi positif yang kelak akan mengantarkan ke surga dan potensi negatif yang akan mengantarkan ke neraka. Potensi identik dengan ikhtiar, urusan dunia. Takdir itu mengikuti ikhtiarnya. Takdir itu bahasa analognya vatal.

Plato itu seorang filsuf yang menggunakan metode dialektiksisme, yaitu yang mencari kebenaran dengan metode bertanya, dan ia pun tidak mendapati jawaban apapun. Sehingga sampailah pada kesimpulan “sebenar-benar diriku tidak dapat mengetahui apapun”. Karena ikhlas orang-orang yang mengaku tidak mengetahui apapun sebenarnya dia mengetahui banyak hal, begitupun orang yang mengaku mengetahui banyak padahal dia hanya mengetahui sedikit.


Sehebat-hebatnya filsafat kita, janganlah coba-coba untuk mereduksi atau mengurangi makna, apalagi sengaja dengan niat untuk melemahkan kita, tapi gunakanlah filsafat untuk mendukung spiritual kita. Dalam filsafat yang dipahami orang tertentu, mereka menyadari segala yang ada dan yang mungkin ada memiliki tuhannya masing-masing, itulah salah satu yang diyakini orang jepang. Filsafat dan agama memiliki sebuah irisan, yaitu keduanya sama-sama mencari kebenaran. Filsafat bertumpu dengan menggunakan pikiran sedangkan agama bertumpu pada wahyu dan keyakinan. Dan agama yang paling rasional adalah agama islam, karena dalam praktek syar’iahnya islam tidak pernah menyuruh manusia meninggalkan logika dan kebenaran-kebenaran yang ada dalam Al-Qur’an sesuai dengan pembuktian para ilmuan dunia. Selain itu islam tidak suka keyakinan yang taklid, atau keyakinan yang tidak disertai dengan kemampuan memahami ilmunya.

Kamis, 25 September 2014

Antara Akal dan Wahyu

Manusia; Antara Akal dan Wahyu
Oleh: Bukhori



Pencarian Esensi kebenaran

Manusia pada dasarnya memiliki beberapa aspek kesamaan dengan binatang, tapi terdapat pula perbedaan-perbedaan yang mendasar antara keduanya. Perbedaan tersebut adalah:
• Pengenalan diri dan dunia
• Keinginan-keinginan yang menguasai manusia
• Suatu tingkat ketika manusia dipengaruhioleh keinginan terse
but dan kemampuan untuk melakukan pilihan.2
Dalam pengenalan dunia, binatang menggunakan indera fisik sebagai alat pembentuk kesadaran dunia yang bersifat lahiriah, tidak mendalam terhadap hakikat, terbatas, regional dan temporal. Sedangkan manusia lewat potensi akalnya mengetahui hukum-hukum alam dan memiliki pandangan menyeluruh tentang dunia sehingga mampu menggabungkan aspek-aspek dunia ini. Mekanisme berpikir yang menghasilkan pengetahuan adalah meknisme paling kompleks yang dapat membantu manusia untuk mengenali diri sendiri sehingga pada akhirnya manusia akan sadar bahwa dirinya diciptakan tuhan dan kembal kepada-Nya serta mengetahui kemuliaan mereka, melihat tajam makna, nilai sosial dan etika. Dengan kesadaran inilah manusia memiliki tanggung jawab sebagai khalifah di bumi ini. manusia lebih mulia dari malaikat dengan kebijaksanaan dan kemerdekaan yang dimilikinya, bertanggungjawab satu sama lain pada kemakmuran dan kesejahteraan dunia3.

Namun, orientasi akal atau orientasi ilmiah sering hanya dapat menembus ilmu pengethuan positif saja. Menurut Karl Jesper4, ilmu pengetahuan bertugas melakukan penyelidikan terhadap realitas dalam beberapa aspek saja, sehingga pada akhirnya dia akan menjmpai pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya sendiri. Rene decrates5, dalam diktum masyhurnya “cogito ergo sum”, pun hanya bertolak dari keraguan untuk mendapatkan pemikiran akali belaka.akal pikiran yang kemudian dilukiskan dalam bentuk kata-kata ini sering tidak dpat mewakili kenyataan.
Dalam kerangka di atas, manusia diletakan dalam tiga tingkatan kesadaran, yaitu; 1) kesadaran inderawi ; 2) kesadaran akal; 3) kesadaran rohani.6

Pada tahap awal, manusia menggantungkan diri pada kemampuan inderanya, tahap berikutnya, manusia menyadari indera sering berdusta dan mulai menggunakan akal agar terhindar dari tipuan-tipuan indera. Pada tahap berikutnya, manusia mulai menyadari bawa akal juga sering tidak jujur ( terutama bila berhadapan dengan norma kebenaran dan etika). Baru pada tingkat ini manusia mengenal pedoman yang hak, pedoman yang berasal dari tuhan untuk menuntun manusia menuju kebenaran mutlak, seringkali kita sebut pedoman ini sebagai wahyu. Dimana wahyu ini disampaikan melalui para nabi dan terwujud dalam al-quran dan sunnah.

Kesadaran akan wahyu ini, akan mampu membawa manusia kepada tujuan hidupnya,sebab dalam al-quran terkandung pengetahuan intelektual intelektual (akali) dan pengetahuan agamawi. Akal pikiran tidak dapat berjalan tanpa ilmu pengetahuan, dan sebaliknya. Orang yang taqlid (meyakini tanpa tahu kebnarannya) adalah orang yang bodoh, sedangkan orang yang sudah puas dengan hanya ilmu-ilmu tersebut tanpa cahaya wahyu akan kekeringan ruhani dan kehilangan visi ilahiah. Jelas bahwa akal sebagai instrumen pengetahuan dan pengethuan tentang wahyu merupakan pembimbing ke arah kebenaran mutlak, sehingga antara akal dan wahyu saling membuthkan.
Kesimpulannya adalah, penemuan diri dibangun di atas dua sumber, yaitu;
• Syar’i, yang diperoleh dari wahyu (al-quran dan sunnah ),
• ‘aql, yang berasal dari akal pikiran.
Kedua sumber ini tak terpisahkan dan keduanya yang akan mengantar manusia pada kebenaran mutlak (Tuhan).


1. Morteza M; “manusia serba dimensi”, hal 129
2. Al-quran 11:61
3. Karl jesper; filosof eksistensialis jerman
4. Rene descrates; filosof rasionalis yand dikenal sebagai bapak filosof modern
5. Al-ghazali; “makhluk pencari kebenaran”, hal 817

Intuisi VS Pengetahuan Formal


Refleksi Pembelajaran Filsafat Ilmu (Juma't, 19 September 2014)
pemateri Perkuliahan Prof.marsigit

Intuisi Versus Pengetahuan Formal
Mengabaikan sesuatu hal yang sepele padahal berdampak besar, itulah nampaknya yang sering dilakukan oleh para orang dewasa terhadap anak-anak,bahkan mungkin termasuk kita sebagai para pendidik. Hal tersebut terjadi karena kita tidak mau berusaha menyelami alam pikiran anak-anak, sehingga kita tidak bisa mengetahui apa yang ada dalam benak mereka, apa potensi yang mereka miliki sekaligus bisa dikembangkan, serta apa juga hal yang diinginkan oleh para anak didik.Terasa atau tidak itulah yang sering terjadi akaibatnya kita terus terjebak dalam miskomunikasi, akhirnya apa boleh buat terkadang anak pula lah yang menjadi korban.Yang lebih parahnya anak-anak yang masih begitu polosnya bisa berpotensi kehilangan intuisinya.

Dalam kesempatan tersebut bapak Prof. Marsigit juga menyarankan sebaikanya para guru yang baik hendaklah membaca tulisan diblognya yang berjudul "Elegi Permintaan Siswa Cerdas kepada Guru matematika", hal tersebut ditujukan agar para guru bisa memahami dunia anak-anak, sehingga jalinan komusikasi dalam proses pembelajaran dapat dapat tercipta lebih berkualitas lagi, seperti halnya seorang orang tua dengan anak-anaknya sendiri.

Pengetahuan secara umum dibedakan menjadi dua, ada yang dimaksud pengetahuan formal dan adapula yang dimaksud pengetahuan intusi.Pengetahuan formal itu mencakup tuntutan kebutuhan melalui definisi dan hal tersebut membuat hanya sedikit sekali pengetahuan formal yang kita ketahui. Lain halnya dengan pengetahuan intuisi, pengetahuan intuisi itu jumlahnya begitu tak berhingga, tetapi kita lagi-lagi terbatas sekali dengan kemampuan mendefinisikannya. Cakupan pengetahuan intuisi meliputi banyak hal, contohnya: cinta, sebel, kesal, bijak, rindu, dll.

Ketika seseorang mengalami degradasi intuisi niscaya orang tersebut akan kehilangan nuraninya, bisa saja mereka menjadi robot-robot yang bergentayangan.Mayoritas orang-orang menggunakan kempuan intuisinya di atas 95% dan sebaliknya berdasarkan survey pengetahuan formal yang di aplikasikan maksimal cuma 5%. Jika pengetahuan formal memiliki porsi di atas 5%, maka berhati-hatilah mungkin hal itu lah pertanda akan memasuki zona degradasi intuisi. Hal tersebut mengisyaratkan kepada kita akan pentingnya memupuk pengetahuan intuisinya, bukan sebaliknya.