Kamis, 23 Oktober 2014

Idealisme & Transendensi Cinta

Bukhori P.Mat P2TK

Refleksi Pembelajaran Filsafat Ilmu Pertemuan ke-6 (Juma't, 17 Oktober 2014)
Dosen Perkuliahan Prof. Marsigit

Idealisme dan Transendensi Cinta
Idealime adalah sebuah istilah yang digunakan pertama kali dalam dunia filsafat oleh Leibniz pada awal abad 18 ia menerapkan istilah ini pada pemikiran Plato, seraya memperlawankan dengan materialisme Epikuros. Istilah Idealisme adalah aliran filsafat yang memandang yang mental dan ideasional sebagai kunci ke hakikat realitas. Dari abad 17 sampai permulaan abad 20 istilah ini banyak dipakai dalam pengklarifikasian filsafat.
Idealisme berasal dari kata ide yang artinya adalah dunia di dalam jiwa (Plato), jadi pandangan ini lebih menekankan hal-hal bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang materi dan fisik. Realitas sendiri dijelaskan dengan gejala-gejala psikis, roh, budi, diri, pikiran mutlak, bukan berkenaan dengan materi.
·         Fichte memakai nama idealisme subyektif, jadi pandangan-pandangan berasal dari subyek-subyek tertentu, dia menyandarkan keunggulan moral untuk sebuah etika manusia yang ideal. Dia diduga sebagai pendiri idealisme di Jerman.
·         Hegel mengangkat idealisme subyektif dan obyektif untuk menggambarkan tesis dan antitesis secara berturut-turut. Hegel sendiri mengemukakan pandangannya sendiri yang disebut idealisme absolut sebagai sintesis yang lebih tinggi dibanding unsur yang membentuknya (tesis dan antitesis).
·         Kant menyebut pandangannya dengan istilah idealisme transendental atau idealisme kritis Dalam alternatif ini isi pengalaman langsung tidak dianggap sebagai benda dalam dirinya sendiri, dan ruang dan waktu merupakan forma intuisi kita sendiri Schelling telah menggunakan istilah idealisme transendental sebagai pengganti idealisme subyektif.
Tokoh-tokoh lain cukup banyak ; BarkeleyJonathan EdwardsHowisonEdmund HusserlMesser dan sebagainya.
Dalam dunia sastra, terdapat aliran idealisme juga, misalnya sebuah cerita, di dalamnya terdapat pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Berdasarkan pesan-pesan itu, seseorang dapat menganalisis tentang pandangan penulis. Idealisme yang dikemukakan terkait dengan tema cerita, misalnya tema yang berhubungan dengan cinta, perjuangan, dan pembangunan masa depan. Ada dua bentuk idealisme: yaitu idealisme aktif, yaitu idealisme yang melahirkan insipirasi-inspirasi baru yang bisa dilakukan dalam realitas, sedangkan idealisme pasif adalah idealisme yang hanya semu, tidak pernah bisa diwujudkan, bersifat utopis saja.
Transformasi Cinta“For all things are united, themselves with parts of themselves – the beaming sun and earth and sky and sea – whatever things are friendly but have separated in mortal things. And so, in the same way, whatever things are the more adapted for mixing, these are loved by each other and made alike by Aphrodite” Empedocles.
Cinta mudah diterjemaahkan kedalam puisi, lagu dan tarian, karena ranah cinta dan irasionalitas jauh lebih mudah diekspresikan, tetapi bisakah kita mendiskursuskan cinta? Ganjil memang, ditengah asumsi bahwa cinta itu tidak logis, sementara ada hasrat manusia untuk memahami secara rasional apa cinta itu. Hasrat ini telah menjadi obsesi berbagai filosof, sebut saja Plato, Empedokles, Kierkegaard, Fromm, Stendhal, hingga filosof India Vatsyayana. Mengapa penting bagi manusia untuk bisa memahami cinta secara diskursif? Bukankah cinta sama indah dan memikatnya di dalam irasionalitas puisi, lukisan, serta simfoni? Kecenderungan manusia untuk melabelkan, mendefinisikan lalu menguraikan peristiwa adalah dorongan utama untuk menaklukan secara komprehensif apa cinta itu. Cinta sarat anomali, tetapi bagi para filosof teka-teki itulah yang mempesona tentang cinta.
Amor PlatonicusDalam karyanya Symposium, Plato meramu suatu konsep ideal tentang cinta. Melalui pembicaraan 7 tokoh, Phaedrus, Pausanias, Eryximachus, Aristophanes, Agathon, Socrates, dan Alcibiades, mereka masing-masing saling memaparkan pendapat mereka tentang cinta. Sambil menikmati anggur Phaedrus mengawali pidatonya memuja Dewa Eros, “Love is a great god, wonderful in many ways to gods and men, and most marvelous of all is the way he came into being.”[2] Phaedrus menjelaskan bagaimana pada awalnya adalah kekacauan (chaos) lalu kemudian cinta terlahir lalu terbentuklah keteraturan. Filsafat cinta dari Plato memang sarat dengan dihubungkannya cinta dan bagaimana alam semesta terbentuk. Serupa dengan kutipan dari Empedocles, yang menyatakan bahwa alam tercipta karena elemen primordial cinta melekatkan segala-galanya. Pandangan yang romantis memang, tetapi dibalik romantisisme itu, secara mendasar apa yang ingin disampaikan Plato dan Empedocles adalah ada suatu energi yang memungkin segala interaksi dan relasi yang sempurna di dalam alam semesta ini. Bagaimana alam bekerja dalam dinamika serta mekanisme yang tidak saja harmonis tetapi juga indah, bagi para filosof ini berkaitan dengan keberadaan elemen utama yakni cinta.
Plato melalui pidato Pausanias lebih lanjut lagi memaparkan bagaimana cinta dapat dimengerti melalui dua perspektif, Common Aphrodite dan Heavenly Aphrodite[3]. Common Aphrodite adalah cinta yang erotis dan vulgar, pemuasan tubuh serta kepemilikan menjadi tujuan utamanya. Cinta semacam ini menurut Plato adalah cinta yang hedonistik, yang mencari momentum kepuasan. Sementara itu Heavenly Aphrodite mengejar wujud cinta yang berbeda, tidak ada penaklukan disini. Cinta tertinggi dipandang sebagai bentuk persahabatan dua hati, yang tidak ada dorongan nafsu ragawi. Dimana dua orang ini saling menghormati, menikmati pertemanan secara intelektual. Bagi Plato cinta semacam inilah cinta yang terhormat, yang tidak mencari kepuasaan sesaat, tetapi mengejar kebijaksanaan di dalam cinta. Beralih dari Pausanias, pidato Eryximachus menjelaskan pula dua tipe dari cinta, dimana tubuh manusia berada di persimpangan dua kecenderungan ini, “The point is that our very bodies manifest the two species of love.”[4] Tubuh menurut Plato merespon secara berbeda peristiwa cinta, ada yang merespon secara buruk sehingga cinta berubah menjadi racun, merusak tubuh dan menyebabkan kematian, tetapi adapula yang bentuk cinta yang bekerja sebagai obat dan menyegarkan tubuh serta pemikiran. Analogi yang diberikan dalam pidato Eryximachus penting dalam menjelaskan teori cinta Platonian, bahwa setiap manusia memiliki reaksi serta ekspektasi yang berbeda-beda tentang cinta. Tetapi apapun reaksi itu, konsep utamanya adalah cinta merupakan kekuatan yang mampu merubah sesuatu, mampu mentransformasi sesuatu.
Dalam pidato Aristophanes, Plato memperkenalkan teorinya yang terkenal yakni mitos ‘belahan jiwa’. Dikisahkan oleh Aristophanes bahwa pada awalnya manusia diciptakan dewa berpasang-pasangan, saling menempel satu dengan yang lainnya. Meski manusia lemah secara tenaga, tetapi mereka memiliki ambisi yang kuat untuk melawan dewa. Khawatir dengan pemberontakan manusia, Zeus menyambar manusia dengan petir-petirnya, menghukum mereka dengan cara memisahkan mereka dengan pasangannya. “In that condition they would die from hunger and general idleness, because they would not do anything apart from each other. Whenever one of the halves died and one was left, the one that was left still sought another and wove itself together with that, —either way they kept on dying.”[5] Inti dari mitos ini, bagi Plato kehidupan manusia dapat diandaikan seperti manusia yang kehilangan pasangannya. Sepanjang hidupnya ia merasakan kehampaan yang sulit untuk diisi. Pencarian terhadap cinta sejati adalah pencarian terhadap belahan jiwa tersebut, “Love is born into every human being; it calls back the halves of our original nature together; it tries to make one out of two and heal the wound of human nature.”[6] Cinta bagi Plato adalah substansi yang dapat memenuhi kekosongan itu, ia mempersatukan realitas serta relasi yang nampaknya sedemikian kacau dan acak, cinta juga memulihkan jiwa manusia.
Pada pidato Agathon, Plato menjelaskan bahwa kita bisa melihat gejala-gejala cinta. Gejala-gejala itu adalah bukti riil bahwa cinta itu adalah kekuasaan. Seseorang yang menyebabkan jatuh cinta sesungguhnya ia memiliki kekuasaan. Ia yang memberi cinta yang tulus juga memiliki kekuataan dan kekuasaan. Selain itu dalam pidato Agathon, Plato menegaskan lagi bahwa cinta itu tidak saja indah dan menyenangkan tetapi ia juga menginginkan kebaikan dan keadilan. Bagi Agathon cinta adalah serum yang dibutuhkan dalam dunia yang penuh dengan kekerasan. Cinta melembutkan jiwa manusia, ia membuat manusia menjadi beradab, “Love moves us to mildness, removes from us wildness. Giver of kindess never of meaness.”[7] Paparan dari Agathon disetujui oleh pembicara selanjutnya, yakni Socrates, ia menjelaskan bahwa ketika seseorang sedang mencintai sesungguhnya ia menginginkan kebaikan di dalam cinta tersebut. Itu mengapa menurut tokoh Socrates, cinta dan kebaikan sepatutnya tidak terpisahkan, secara ekstremnya, inilah cinta yang sesungguhnya, bukan jenis cinta yang lainnya.
Perdebatan panjang yang diuraikan oleh Plato menunjukan properti dari cinta, begitu juga motif dari kegiatan mencintai tersebut. Konsep cinta dari Plato kongruen dengan dualismenya, dari segi epistemologis ia selalu mengatakan bahwa ada kebenaran doxatic dan kebenaran epistemic, begitu juga dalam metafisikanya, bahwa realitas sesungguhnya adalah dunia idea bukan dunia fisikal dalam keseharian. Berkaitan dengan filsafat cinta Plato, ia juga melihat bahwa ada hirarki ketika memahami cinta. Cinta yang destruktif, ingin menguasai, menyiksa bagi Plato hanyalah bayangan dari cinta, bukan cinta yang sejati, cinta sejati baginya adalah cinta yang baik dan adil. Mengapa manusia mencintai? Menurut Socrates karena cinta adalah ‘nature’ dari surga, ia selalu ingin melampaui mortalitas ketubuhannya, ia ingin mencapai kesempurnaan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar