Jumat, 10 Oktober 2014

Menembus Ruang & Waktu

Bukhori P.Mat P2TK

Refleksi Pembelajaran Filsafat Ilmu Pertemuan ke-4 (Juma't, 3 Oktober 2014)
Dosen Perkuliahan Prof. Marsigit


Kesadaran Menembus Ruang dan Waktu


Ketika mempelajari filsafat tak terlepas dari mempelajari eksistensi dimensi ruang dan waktu yang berbeda-beda yang meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Salah satu contoh dimensi ruang dapat digambarkan dengan pola tersusun ke atas di mulai dengan aspek material, formal, normatif dan aspek spiritual. Tiadalah yang ada dan yang mungkin ada itu kecuali semuanya menembus ruang dan waktu. Bukan hanya yang hidup, tetapi sebuah batu pun menembus ruang dan waktu. Contohnya candi Borobudur dahulu latar belakangnya rusa yang sedang memakan rumput di tengah hutan, tetapi sekarang latar belakangnya adalah hotel berbintang lima, itu pertanda bahwa candi Borobudur yang dulu dengan yang sekarang berbeda, sehingga Candi Brobudur pun bisa dikatakan menembus ruang dan waktu. Dari hal tersebut batu pun tak menyadarinya, tak memikirkannya, dan tidak sedang berdo’a karena sebuah batu saja menembus ruang dan waktu, apalagi manusia yang dianugerahi Tuhan yang Maha Esa yaitu berupa fatal dan vital atau ikhtiar dan takdirnya lengkap dengan berbagai akibatnya seperti kemampuan insting, intuisi, kemampuan berpikir formal, berpikir numerik, bahkan berpikir canggih.

Maka dari itu definisi hidup itu dalam filsafat itu bisa bermacam-macam, ada yang di tandai dengan kemampuan bergerak, bernafas, bereproduksi,dll. Di samping itu, bisa juga hidup itu salah satu definisinya yaitu menembus ruang dan waktu. Maka bagi orang yang berhasil berarti keterampilan keberhasilan dia dalam menempuh ruang dan waktu, sehingga dibutuhkan kemampuan memanipulasi metodologi menembus ruang dan waktu. Contohnya seorang mahasiswa yang datang ke jogja dari luar pulau jawa untuk belajar itu pun bisa dikatakan menembus ruang dan waktu. Selain itu, kemampuan itu tidak bersifat dasar seperti berjalannya keong, binatang atau yang lainnya tetapi dengan mempergunakan kemampuan yang lebih canggih lagi contohnya seperti dengan mempgunakan pesawat. Kata-kata yang diucapkan adalah sebuah ruang, yaitu ruang kesadaran. Jadi tak terasa kitapun tak terlepas dari saling bertukar ruang masing-masing.

Setiap yang ada punya strukturnya serta menembus ruang dan waktu, termasuk semua panca indra dan pikiran kita. Tetapi keberadaan akan ruang dan waktu terkadang kita semua tak pernah menyadarinya. Apakah kita bisa memikirkan semua yang ada dan yang mungkin ada?? Secara ontologi mungkin bisa, tetapi secara aksiologi, etis dan estetika maka tidak bisa karena dibatasi ruang dan waktu. Di sisi lain dimensi ruang dan waktu memberikan kita kesempatan tetapi di sisi lain bersifat membatasi. Ketika kita bisa mengetahui yang ada dan yang mungkin ada, mungkin bisa menyebabkan kita tidak bisa hidup, keterbatasan kita membuat kita bisa saling memahami dan mengerti tentang hidup. Memahami ruang dan waktu itu berarti kita memahami tata cara atau adabnya. Dalam situasi/ruang yang berbeda setiap benda memiliki fungsi yang berbeda contohnya batu yang ada di toko bangunan itu memiliki fungsi material, batu yang digunakan untuk pembatas jalan itu memiliki fungsi formal, batu kerikil yang digunakan oleh orang yunani untuk menghitung jarak tempuh kereta (batu kalkuli/kalkulus) berfungsi normatif, tetapi ketika batu yang sedang di gunakan untuk beribadah (lempar jumroh) maka batu itu memiliki fungsi spiritual dan lain-lain.


Orang yang tidak bisa menempatkan diri dalam ruang dan waktu yang tepat, maka orang tersebut bisa dikatakan bodoh secara filsafat. Untuk menjawab berbagai pertanyaan dengan benar, seperti formalnya dari normatif normatifnya spiritual, normatifnya spiritual, kita perlu memahami bagian dari filsafat dimana filsafat itu ada tiga pilar, ontologi hakikatnya, epistemologi adalah sumbernya, kemudian aksiologi adalah etik dan estetikanya. Menembus ruang dan waktu itu terkadang tidaklah mudah, dan untuk memahami hakikat yang ada dan yang mungkin itu adalah perkara yang sangat sulit bahkan Socrates saja sudah menyerah, ia mengatakan “aku tidak mengetahui apa-apa tentang hakikat yang ada dan yang mungkin ada”, apalagi kalau di Tanya tentang hakikat Tuhan, yang pasti itu lebih sulit lagi, wallohual’alam. Dari filsafat kita bisa belajar tentang kerendahan hati, dan kedahsyatan ilmu Alloh swt serta belajar filsafat memberikan kesadaran kepada kita bahwa tidaklah kita mengetahui tentang hakikat yang ada dan yang mungkin ada melainkan sangat sedikit sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar