Kamis, 25 September 2014

Antara Akal dan Wahyu

Manusia; Antara Akal dan Wahyu
Oleh: Bukhori



Pencarian Esensi kebenaran

Manusia pada dasarnya memiliki beberapa aspek kesamaan dengan binatang, tapi terdapat pula perbedaan-perbedaan yang mendasar antara keduanya. Perbedaan tersebut adalah:
• Pengenalan diri dan dunia
• Keinginan-keinginan yang menguasai manusia
• Suatu tingkat ketika manusia dipengaruhioleh keinginan terse
but dan kemampuan untuk melakukan pilihan.2
Dalam pengenalan dunia, binatang menggunakan indera fisik sebagai alat pembentuk kesadaran dunia yang bersifat lahiriah, tidak mendalam terhadap hakikat, terbatas, regional dan temporal. Sedangkan manusia lewat potensi akalnya mengetahui hukum-hukum alam dan memiliki pandangan menyeluruh tentang dunia sehingga mampu menggabungkan aspek-aspek dunia ini. Mekanisme berpikir yang menghasilkan pengetahuan adalah meknisme paling kompleks yang dapat membantu manusia untuk mengenali diri sendiri sehingga pada akhirnya manusia akan sadar bahwa dirinya diciptakan tuhan dan kembal kepada-Nya serta mengetahui kemuliaan mereka, melihat tajam makna, nilai sosial dan etika. Dengan kesadaran inilah manusia memiliki tanggung jawab sebagai khalifah di bumi ini. manusia lebih mulia dari malaikat dengan kebijaksanaan dan kemerdekaan yang dimilikinya, bertanggungjawab satu sama lain pada kemakmuran dan kesejahteraan dunia3.

Namun, orientasi akal atau orientasi ilmiah sering hanya dapat menembus ilmu pengethuan positif saja. Menurut Karl Jesper4, ilmu pengetahuan bertugas melakukan penyelidikan terhadap realitas dalam beberapa aspek saja, sehingga pada akhirnya dia akan menjmpai pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya sendiri. Rene decrates5, dalam diktum masyhurnya “cogito ergo sum”, pun hanya bertolak dari keraguan untuk mendapatkan pemikiran akali belaka.akal pikiran yang kemudian dilukiskan dalam bentuk kata-kata ini sering tidak dpat mewakili kenyataan.
Dalam kerangka di atas, manusia diletakan dalam tiga tingkatan kesadaran, yaitu; 1) kesadaran inderawi ; 2) kesadaran akal; 3) kesadaran rohani.6

Pada tahap awal, manusia menggantungkan diri pada kemampuan inderanya, tahap berikutnya, manusia menyadari indera sering berdusta dan mulai menggunakan akal agar terhindar dari tipuan-tipuan indera. Pada tahap berikutnya, manusia mulai menyadari bawa akal juga sering tidak jujur ( terutama bila berhadapan dengan norma kebenaran dan etika). Baru pada tingkat ini manusia mengenal pedoman yang hak, pedoman yang berasal dari tuhan untuk menuntun manusia menuju kebenaran mutlak, seringkali kita sebut pedoman ini sebagai wahyu. Dimana wahyu ini disampaikan melalui para nabi dan terwujud dalam al-quran dan sunnah.

Kesadaran akan wahyu ini, akan mampu membawa manusia kepada tujuan hidupnya,sebab dalam al-quran terkandung pengetahuan intelektual intelektual (akali) dan pengetahuan agamawi. Akal pikiran tidak dapat berjalan tanpa ilmu pengetahuan, dan sebaliknya. Orang yang taqlid (meyakini tanpa tahu kebnarannya) adalah orang yang bodoh, sedangkan orang yang sudah puas dengan hanya ilmu-ilmu tersebut tanpa cahaya wahyu akan kekeringan ruhani dan kehilangan visi ilahiah. Jelas bahwa akal sebagai instrumen pengetahuan dan pengethuan tentang wahyu merupakan pembimbing ke arah kebenaran mutlak, sehingga antara akal dan wahyu saling membuthkan.
Kesimpulannya adalah, penemuan diri dibangun di atas dua sumber, yaitu;
• Syar’i, yang diperoleh dari wahyu (al-quran dan sunnah ),
• ‘aql, yang berasal dari akal pikiran.
Kedua sumber ini tak terpisahkan dan keduanya yang akan mengantar manusia pada kebenaran mutlak (Tuhan).


1. Morteza M; “manusia serba dimensi”, hal 129
2. Al-quran 11:61
3. Karl jesper; filosof eksistensialis jerman
4. Rene descrates; filosof rasionalis yand dikenal sebagai bapak filosof modern
5. Al-ghazali; “makhluk pencari kebenaran”, hal 817

Intuisi VS Pengetahuan Formal


Refleksi Pembelajaran Filsafat Ilmu (Juma't, 19 September 2014)
pemateri Perkuliahan Prof.marsigit

Intuisi Versus Pengetahuan Formal
Mengabaikan sesuatu hal yang sepele padahal berdampak besar, itulah nampaknya yang sering dilakukan oleh para orang dewasa terhadap anak-anak,bahkan mungkin termasuk kita sebagai para pendidik. Hal tersebut terjadi karena kita tidak mau berusaha menyelami alam pikiran anak-anak, sehingga kita tidak bisa mengetahui apa yang ada dalam benak mereka, apa potensi yang mereka miliki sekaligus bisa dikembangkan, serta apa juga hal yang diinginkan oleh para anak didik.Terasa atau tidak itulah yang sering terjadi akaibatnya kita terus terjebak dalam miskomunikasi, akhirnya apa boleh buat terkadang anak pula lah yang menjadi korban.Yang lebih parahnya anak-anak yang masih begitu polosnya bisa berpotensi kehilangan intuisinya.

Dalam kesempatan tersebut bapak Prof. Marsigit juga menyarankan sebaikanya para guru yang baik hendaklah membaca tulisan diblognya yang berjudul "Elegi Permintaan Siswa Cerdas kepada Guru matematika", hal tersebut ditujukan agar para guru bisa memahami dunia anak-anak, sehingga jalinan komusikasi dalam proses pembelajaran dapat dapat tercipta lebih berkualitas lagi, seperti halnya seorang orang tua dengan anak-anaknya sendiri.

Pengetahuan secara umum dibedakan menjadi dua, ada yang dimaksud pengetahuan formal dan adapula yang dimaksud pengetahuan intusi.Pengetahuan formal itu mencakup tuntutan kebutuhan melalui definisi dan hal tersebut membuat hanya sedikit sekali pengetahuan formal yang kita ketahui. Lain halnya dengan pengetahuan intuisi, pengetahuan intuisi itu jumlahnya begitu tak berhingga, tetapi kita lagi-lagi terbatas sekali dengan kemampuan mendefinisikannya. Cakupan pengetahuan intuisi meliputi banyak hal, contohnya: cinta, sebel, kesal, bijak, rindu, dll.

Ketika seseorang mengalami degradasi intuisi niscaya orang tersebut akan kehilangan nuraninya, bisa saja mereka menjadi robot-robot yang bergentayangan.Mayoritas orang-orang menggunakan kempuan intuisinya di atas 95% dan sebaliknya berdasarkan survey pengetahuan formal yang di aplikasikan maksimal cuma 5%. Jika pengetahuan formal memiliki porsi di atas 5%, maka berhati-hatilah mungkin hal itu lah pertanda akan memasuki zona degradasi intuisi. Hal tersebut mengisyaratkan kepada kita akan pentingnya memupuk pengetahuan intuisinya, bukan sebaliknya.